Rabu, 18 Februari 2009

KELUARGAKU

Brak…suara itu memecahkan kesunyian dirumah yang hampir setengah tahun kami tinggali sejak pernikahan mama dan papa, aku segera membangunkan kakak untuk mencari tahu apa yagn sebenarnya terjadi dikamar orang tuaku, suara itu sebenarnya tidak asing lagi bagi kami sejak papa terpilih sebagai pimpinan direktur perusahaan yang diwariskan dari orang tua papa kata harmonis tidak mampu lagi tercipta dikeluarga kami dan dengar-dengar ayah kini telah menghadirkan pihak ketiga dikeluarga kami sehingga keakraban tidak dapat lagi tercipta seperti dulu lagi.
“Bang aku takut.” bisikku.
“Nggak usah takut dik kan ada abang disini.” satu-satunya kini yang masih menaruh simpati dan perhatian adalah kakakku yang satu-satunya karena aku hanya berdua bersaudara.
“Pokoknya aku mau cerai aku tidak mampu lagi pah sama kamu apa lagi harus dipoligami dengan orang yagn tidak jelas asal-usulnya seperti itu.” pertengkarang antara kedua orangtuaku semakin terdengar kasar.
“Terserah kamu, yang penting Ceri kamu tidak boleh bawa pergi.” ancam papa kepada mama sambil menunjuk-nunjuk wajahnya.
“Enak sa…ja aku yang siksa lahirin, kamu enak-enak mau bawa dia?!”
“Kan masih ada Endy, kamu saja yang bawa dia.”
“Tidak mau, kamu saja!” ketika mendenganr percakapan itu bang Endy segera pergi dan meninggalakan auk sendiri didepan pintu, genggaman yagn erat tadi di lenganku kini dilepasnya, aku tahu pasti dia merasa berkecil hati mendengar percakapan barusan , tetapi aku berusaha untuk meyakinkannya untuk tidak berfikir yang tidak-tidak.



“Sekarang kamu mau tinggal dengan siapa Cer?, sekarang pilih papa atau mama!” pertengkaran itu sekarang tidak lagi dikamar tetapi diepan aku dan mas Endy tampa memikirkan perasaan kami berdua.
“Cepat siapa sayang?” dengan bujuk rayu ibu ikut menimpali kata-kata papa.
“A, a, aku terserah mas Endy.” jawabku dengan gugup
“Kok aku sih dik?” bantah bang Endy, aku merasa heran mendengar kata-kata itu baru kali ini dia dia berbicara kasar kepadaku padahal semalam dia sangat baik padaku dan berjanji akan menjagaku.
“Pokoknya aku ikut bang Endy” dengan suara sedikit manja dan tinggi.
“Baik kalo gitu kamu mau dengan siapa En?”papa mulai terlihat kesal dan menatap dengan mata yang berapi-api.
“Aku mau ikut dengan mama.” mas Endy hanya tertunduk sambil menjawab pertanyaan papa, kelihatannya dia tidak sanggup menantang mata yang sedang menatapnya.
“Kamu dengar sendiri kan pah berarti Cery sama aku.”
“Ok. Never main for me” sambil melemparkan senyum yang pahit.
Aku, dan bang Endy bergegas pergi bersama mama tampa ada kecupan dari ayah atau sepatah kata sayang untuk kami, sekarang masa-masa itu kini pergi dan hanya tinggal kenangan.



Tidak lama kemudin bel istirahatpun berbunyi semua bergegas mengisi lambung tengahnya begitupun dengan diriku, tetapi beda dengan mereka kali ini aku ingin melepaskan rasa kesal ku dengan makanan-makanan ini.
“Brak!”
“Eh, apa kamu tidak punya mata yah?” bentakku kepada pelayan kanting ini
“Ma, maaf saya tidak lihat mbak.”
“Makanya kalo jalan pake mata jangan pake dengkul.”
“Sekali lagi maaf.” mohon pelayan kantin itu yang usianya tidak jahu beda dengan ku.
“Dasar.” karena kejadian barusan aku segera pergi meninggalkan kantin dan mencoba mencari suasana yang lebih nyaman.
Tidak lama berjalan tiba-tiba aku dikagetkan dari suara seseorang yang memegang pundakku sambil memperkenalkan namanya dari arah belakang, akupun berbalik dan ternyata dia tidak hanya sendiri tetapi bersama gangnya, dan orang yang paling berkuasa diantara mereka mengaku bernama Cici, orang yang pertama kali kenalan denganku, tampa basa-basi aku pun ikut dengannya apalagi aku anak baru disekolah ini tak satupun orang yang aku kenal. Dan akhir-akhir ini bang Endy juga mulai sibuk dengan urusannya sendiri, dia selalu menjauhiku dan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata kasar dengan tatapan sinis, aku pun tidak tahu apa yang membuatnya hingga berubah seperti itu. Apa lagi ibu mulai sibuk dengan urusannya sendiri pergi pagi pulang pagi, itupun pulang hanya ganti pakaian dan pergi lagi, tidak ada sedetikpun untuk aku dan bang Endy, tetapi itu bukanlah masalah besar bagiku aku masih punya gang baruku ini yang setia menemaniku, untuk apa aku memikirkan mereka belum tentu mereka memikirkan aku juga.



Kali ini aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temanku tidak tanggung-tanggung pula aku telah menghabiskan kartu kredit dua, apa lagi sekarang keuangan ibu sudah mulai bermasalah yang aku dengar perusahaan ibu bangkrut mau tidak amu aku pinjam kepada teman-temanku, jadi keuanganku masih bisa terselamatkan, tetapi tidak mungkin aku begini terus aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keuanganku, tiba-tiba Cici mengetahui masalah ini dia menyuruhku untuk melakukan profesi yang sangat aku takuti yaitu sebagai pengedar narkoba katanya penghasilannya sangat banyak, perhari jika mendapatkan pembeli satu orang bisa dapat satu juta, karena kondisi ini akhirnya aku ikut juga.
Dari awal aku memang berfikir tidak mungkin aku menjalani profesi ini, aku tidak boleh tergantung dari penghasilan ini terus karena ini terlalu beresiko, dan tidak lama hal yang sangat aku khawatirkan akhirnya terjadi juga pas waktu transaksi tiba-tiba polisi datang ternyata mereka berhasil mendapatkan tempat kami, alhasil aku berhasil kabur dan teman-teman aku yang lain ditangkap oleh polisi, tetapi akupun masih belum bisa tenang ternyata wajahku terlihat salah satu dari polisi itu. Kali ini aku hanya bisa berjalan tampa tujuan, tiba-tiba semuanya terlihat rabun aku tidak mampu melihat apa-apa, kepalaku terasa sangat berat, dan akhirnya tubuhku pun terjatuh terkapar diaspal jalan yang cukup sunyi.
Sejak tragedy itu aku kira aku sudah berahadapan dengan malaikat mikail ternyata aku masih hidup dan sekarang aku tidak tahu sedang berada dirumah siapa yang aku lihat hanya perempuan yang berjilbab dengan manisnya memperlihatkan kepadaku senyumnya, saat mataku terbuka lebar aku menatap lekat-lekat gadis itu yang sepertinya tidak asing lagi bagiku, dan sepertinya dia adalah orang yang pernah aku tabrak waktu dikantin, ternyata hatinya baik sekali dia mau menerima aku padahal aku sudah berkata kasar padanya, aku berharap dia sudah lupa kejadian itu jika dia ingat aku pasti sanagt malu.



Tidak terasa aku sudah berada dirumah orang yang kuanggap sebagai keluargaku sendiri selama dua minggu, aku sangat bersyukur walaupn tidak sekolah tetapi masih ada ibu Ria yang membantu aku untuk belajar mengaji, shalat, dan masih Ria juga yang senantiasa untuk memberikan auk semangat untuk memakai jilbab dan Alhamdulillah kali ini aku berhasil mamakai jilbab aku ingin sekali ibu melihatku mengenakan jilbab ini dengan bang Endy.
Hiks…hiks….
“Suara apa itu seperti suara orang yang lagi menangis.” untuk mengobati rasa penasaranku aku mencoba untuk mencaritahu dimana asal suara itu. Ternyata ibu Ria yang sedang menangis.
“Ibu, kenapa menangis?”
“Ibu tidak apa-apa nak.”
“Ibu cerita saja apa yang sebenarnya terjadi?” bujukku.
“Sebenarnya ibu sangat rindu dengan anak ibu.”
“Maksud ibu?, sebentar lagi Ria pulang kok.” sambil mengusap-usap punggung ibu agar tetap tenang.
“Bu, bu, kan.” dengan suara yang masih sesenggukan, akupun menunggu dengan penasaran.
“Terus siapa bu?”
“Kakak Ria, sebenarnya Ria punya kakak tetapi saat dilahirkan dia tidak jelas meninggal a…”
“Atau apa bu?” rasa penasaranpun mulai menyelimutiku.
“Atau diculik orang, waktu itu ibu sedang sendirian dirumah sakit setelah melahirkan kakak Ria, karena ayah Ria harus menjual dulu nanti habis zduhur baru datang menjenguk ibu, tiba-tiba suster datang dan memberitahukan ibu bahwa anak ibu meninggal saat dilahirkan, padahal ibu sangat merasakn bahwa ibu sempat menggengdong anak ibu setelah dilahirkan. Itu sudah sangat jelas ibu sangat ingat dengan tanda lahir yang ada dipundaknya” kayaknya bang Endy juga punya deh dipundaknya sebelah kiri warna hitam kecoklatan.
“Kalo boleh tahu bu, tanda lahirnya sebelah mana dan warna apa?”
“sebelah kiri dan warna hitam kecoklat-coklatan.”
Apa?, kenapa kebetulan sama?, tidak mungkin, mana mungkin bang Endy anak…pasti salah orang, pasti salah orang. Jeritku dalam hati.
“Ka, ka, kalo beitu ibu sabar yah.” sambil mengusap-usap punggung ibu Ria lagi dan menyembunyikan rasa penasaranku.
“Bu aku kedapur dulu yah melihat masakannya.” ada apa sebenarnya yang terjadi di keluargaku?, ternyata masih ada seribu rahasia yang tidak aku ketahui mengapa mama dan papa membenci bang Endy?, mengapa bang Endy sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan mama dan papa?, sebenarnyaa rahasia apa lagi yang belum terungkap, betapa bodohnya kau terlambat menyadari ini semua.



Sebulan sudah lewat, aku sudah tidak pernah mendengar kabar-kabar tentang keluargaku bagaimana keadaan bang Endy, ibu, apa lagi ayah yang sudah tinggal diluar kota mungkin dia sudah nikah lagi. Tetapi kali ini pikiranku sedang tertuju pada satu titik sebanarnya bang Endy itu siapa?, dan sepertinya ada hubungannya dengan keluarga Ria, tunggu dulu waktu itu kan aku lihat golongan darah mas Endy tidak ada yang sama baik mama atau papa tetapi ini belum cukup kuat bisa saja ini dari kakek atau nenek, coba aku tanya ibu Ria mungkin sama hanya itu satu-satunya kemungkinan untuk mengetahui itu semua.
“Ria ada seseorang yang mencari kamu didepan.” tiba-tiba suara itu memecahakn lamunanku.
“Siapa?” baru kali ini ada yang datang mencariku.
“Nggak tahu, dia laki-laki, dan sepertinya orang baik-baik kok, keliatan dari pakaiannya sangat sopan dan lucu juga dia pake peci.” aku pun melangkah keluar dan mencoba menebak-nebak apa mungkin bang Endy, ah tidak mungkin bang Endy selalu pake topi bukan peci dan pakaiannya tidak sopan selalu pake celana bolong-bolong yang katanya untuk gaya padahal seperti orang yang kekurangan kain saja. Akupun sampai diruang tamu tiba-tiba mataku terasa berkaca-kaca dan akhirnya terjatuh juga embun yang sedari tadi tertahan, dengan refleks aku berlari dan menghamburkan pelukanku orang yang datang itu, ternyata dia telah berubah.
“Abang kok pakaiannya kayak gini?”
“Kamu sendiri napa?” sambil mengucek-ucek jilbabku yang sudah tertata rapi, setelah saling menghamburkan rasa rindu bang Endy menceritakan perjalannya hingga dia menjadi seperti ustad-ustad. Setelah bang Endy bercerita akupun menceritakan kejadian yang menimpaku hingga aku menemukan jati diriku yang sebenarnya.
“Assalamu‘alaikum.”
“Wa’alaikumssalam.” aku dan bang Endy hamper serentak
“Eh ada tamu.”
“Ini bang Endy bu.” bang Endy berdiri dari tempat duduknya dan mencium pungung tangan ibu Ria, aku melihat ada yang aneh dengan Ibu Ria tiba-tiba ada mendung yang sempat terbaca dari matanya ayng keriput termakan oleh usia yang tidak dapat aku terjemahkan apa yang mengeluti hatinya hingga seperti itu, setelah bersalaman ibu Ria meninggalkan kami berdua diruang tamu dan bergegas masuk kedalam, telihat jelas dia menjatuhkan setitik embun ari sudut matanya sebelum berlalu.
“Bang keadaan mama sekarang bagaimana?”
“Sekarang dia sedang dirumah sakit.”
“Mama sakit apa?” tanyaku dengan rasa yang sedang memendam rindu yang sangat dalam.
“Tidak terlalu parah dia cuman terserang sakit typus dan radang tenggerokan.”
“tidak apa-apa bagaimana!, itu namanya parah tau.” sambil mendorong badannya yang tidak bergerak sejenkalpun.
“Eh aku mau nanya bang.”
“Nanya apa?, pake minta izin segala.”
“Bagaimana abang bisa nemuin aku?”
“Aku kan punya mata-mata dimana-mana jadi gampang buat aku untuk nemuin kamu.” sambil menampakkan senyum kesombongan.
“Aku serius bang...”
“Ok. Aku dapat info dari teman aku yang tidak sengaja liat kamu sedang berada didepan rumah ini duduk memang sih aku sudah lama cari kamu, aku sebar foto kamu keteman-teman aku untuk bantu cari kamu.”
“Jadi…mas kangen aku juga!”dengan nanda sedikit mengejek.
“Tuh kan jadi geer.”
“Eh aku permisi pulang dulu yah sudah mau meghrib.”
“Tunggu dulu jangan main selonong aja nggak minta izin sama yang punya rumah.”
“Aku kan pergi tak diantar jadi pulang tak diantar juga dong, jadi nggak perlu kan...”
“Emang abang jalangkung?” tampa ceplas-ceplos lagi aku segera memanggil ibu.
“Bu…ibu”
“Eh, Cer apa nggak mau ikut sama abang?”
“Iya tunggu dulu tidak mungkin aku lansung pergi begitu saja pasti butuh waktu dulu Insya Allah besok sekalian jenguk ibu.”
“Eh, nak Endy sudah mau pulang?”
“Iya bu.”kali ini ibu hanya memperlihatnya senyum palsu terlihat jelas ada segores luka dari wajahnya yang berusaha dia sembunyikan, setelah bang Endy pergi akupun berusaha mencari tahu mengapa ibu seperti itu. Ternyata dia ingat dengan anaknya yang hilang itu ketika melihat bang Endy.



Semuanya terlihat berbeda ibu menjadi lebih baik mungkin tidak lain ketika tertimpa musibah sehingga berubah menjadi seperti ini tetapi ada yang aneh ketika ibu melihat ibunya Ria.
“Cer tolong kamu panggil ibu Ria.”
“Bu, ibu dipanggil ama mama” ibu Ria segera masuk kedalam dan mama menyruhku untuk menunggu diluar, aku yakin ibu ingin menceritakan kalau bang Endy itu anaknya bu Ria yang telah diculik beberapa tahun yang lalu.
Setelah beberapa menit semua menjadi heran melihat tingkah laku ibu Ria ketika keluar dari kamar rawat mama, dia memeluk erat bang Endy dengan berlinangan air mata, setelah beberapa saat kemudian keadaan sudah membaik kami semua berkumpul diruang rawat mama dan ibu Ria memulai ceritanya, ternyata dugaanku selama ini benar semua kejadian ini bermula dari sifat papa yang serakah akan kakuasaaan dia harus mendapatkan anak laki-laki baru bisa mendapatkan warisan itu mamapun dipaksa untuk pura-pura hamil dan tiba pada bulan kesembilan waktunya untuk melahirkan layaknya ibu-ibu normal lainnya, ayah menyuruh seseorang untuk mencari anak yang baru lahir tepat pada hari itu dan ternyata orang suruhan papa mengambil anak bu Ria yang tidak lain adalah bang Endy, mama sempat melihat foto bu Ria yang sengaja dia minta dari orang suruhan papa. Untungnya ibu Ria tidak marah kepada mama bahkan tidak menuntut apapun kepada mama, dia sudah bersyukur masih sempat dipertemukan dengan anaknya.

0 komentar:

Posting Komentar